WARUNG MI CO MING
Selasa, Juli 02, 2013
Oleh : Veronica Widyastuti
Co Ming membereskan mangkuk-mangkuk
bekas mi dagangannya. Ah, Co Ming dsedih sekali. Dia harus membuang lagi sisa
mi yang tidak terjual.
“Tidak habis lagi, Ayah?” tanya Lui
Ming.
Co Ming menghela nafas. Lui Ming
tahu ayahnya sedang gelisah.
“Yah… mau bagaimana lagi,” kata Co
Ming. “Beberapa hari terakhir ini, kita kalah saingan dengan penjual mi baru di
ujung jalan itu. Warungnya memang baru da tempatnya lebih strategis.” Co Ming
menoleh pada anaknya.
“Lui Ming, kamu kenapa? Lui Ming!
Lui ming!” panggil Co Ming.
Lui Ming
tersentak. “Kamu mendengarkan apa Lui Ming? Kamu tidak mendengarkan kata-kata
Ayah.”
“Ayah kalau
keadaan seerti ini terus, apakah kita…..apakah kita…..” Lui Ming tidak sanggup
meneruskan kata-katanya.
Co Ming
mengerti kegelisahan anaknya. “Apakah kita akan bangkrut, maksudmu?” Lui Ming
mengangguk lesu. Co Ming pun tak tahu lagi yang harus dilakukannya. Dia Cuma
mengangkat bahu dan kembali membereskan sisa dagangannya.
Hari
berikutnya, Lui Ming dan teman-temannya sudah berkumpul di warung mi milik Co
Ming. Mereka terlihat berunding dengan seru.
“Biar aku
yang membelinya!” seru Sao Chan. Dia segera berlari meninggalkan warung.
Setengah jam kemudian, Sao Chan kembali dengan sebuah bungkusan. Anak-anak
segera mengerumuninya.
“Hmmm…
lumayan,” kata Sao Chan.
“Tapi
menurutku, masih lebih enak mi buatan ayahmu, Lui Ming,” komentar Ming Tan.
Anak-anak lain setuju.
“Kalau
begitu, bukan masalah rasa,” kata Lui Ming.
“Bagaimana
dengan pelayanannya, Sao Chan?”
“Sama saja.
Bahkan, tadi aku harus menunggu lama. Ayahmu lebih cekatan, Lui Ming.”
“Anka-anak,
kelihatannya prundingan kalian seru sekali. Agar pikiran lebih jernih, ayo
silakan cicipi mi-nya,” kata Co Ming.
“Wah,
terima kasih! Paman baik sekali!” sambut Sao Chan gembira.
“Nah, benar
kan kataku?” Komentar Ming Tan beberapa saat kemudian. “Mie buatan ayah Lui
Ming lebih enak.”
“Kalau
begitu, kita coba strategi kita,” kata Sao Chan.
Keesokan
harinya, Co Ming sedang membereskan warungnya seperti biasa. Hari itu dia tak
banyak berharap warungnya akan laris. Benar saja! Sampai tengah hari, tidak
sepuluh orang yang makan di warung Co Ming. Berbeda dengan warung Sa Mao di
ujung jalan yang ramai pembeli.
Tapi, lewat
tengah hari, Lui ming datang bersama teman-temannya. Mereka memesan mi
masing-masing satu mangkuk. Warung Co Ming jadi penuh. Setelah makan, satu
persatu anak itu meninggalkan warung Co Ming. Tapi, tahu-tahu mereka kembali
lagi dengan baju yang berbeda. Wah, apa yang mereka lakukan, ya?
“Paman, aku
pesan mi satu lagi!” seru Sao Chan.
“Aku ingin
kuahnya lebih banyak, Paman!” Min Tan tak mau kalah.
Orang-orang
yang melihat kehebohan warung Co Ming menjadi enasaran. Mereka ikut membeli mi
di warung Co Ming. Lui Ming dan ayahnya sangat kewalahan.
“Wah,
ternyata mi disini sangat enak, ya?”
“Iya. Besok
aku pasti kesini lagi.”
“Kenapa
tidak dari dulu kita ke sini?”
“Iya.
Tempatnya juga bersih. Aku akan mengajak keluarga dan teman-temanku makan di
sini lagi.”
Dalam waktu
singkat, mi di warung Co Ming habis terjual.
“Hahaha…
kalian cerdik, anak-anak. Hebat! Terima kasih, kalian mau peduli pada warung
Paman. Sebagai hadiah, masing-masing akan mendapatkan semangkuk mi, gratis!”
kata Co Ming.
“Hoooreeee!!!”
sambut anak-anak gembira.
“Tunggu,
Paman! Ini baru sehari. Kita harus mengatur strategi untuk besok,” kata Sao
Chan. Tak lama kemudian, mereka menghadap Co Ming.
“Sudah menemukan strategi baru, anak-anak?”
tanya Co Ming.
“Tentu
saja! Begini, Ayah. Setiap hari kami akan bergiliran untuk makan di sini agar warung selalu terlihat ramai. Bukankah
Ayah berjanji akan memberi semangkuk mi gratis?” jelas Lui Ming.
Co Ming pun
mengangguk-angguk. “Ya…ya…aku mengerti sekarang. Wah, ide hebat!”
Seminggu
berikutnya selalu ada teman Lui Ming yang makan di warung Co Ming. Mereka membuat
warung itu selalu terlihat heboh dan ramai. Warung Co Ming jadi laris dan
terkenal, bahkan laris dari pada warung mi Sa Mao.
“Anak-anak,
kalian benar-benar hebat!” puji Co Ming ketika anak-anak berkumpul di
warungnya. “Bagaimana aku harus berterima kasih pada kalian?”
“Ah, tidak
perlu dipikirkan, Paman. Bagaimana dengan semangkuk mi lagi?” goda Sao Chan
sambil mengedipkan mata.
Oooh… Co
Ming hanya menggaruk-garuk epala, dikikuti tawa anak-anak yang menggodanya.
(Dikutip dari Majalah Bobo Edisi 6 Maret 2008)

0 Comments