Si Pengeluh
Jumat, Agustus 16, 2013
Di pinggir sebuah sungai, tinggalah
seekor kra-kura besar. Tubuhnya kekar dengan tempurung yang kuat perkasa.
Sesungguhnya, nama asli kura-kura adalah si Hitam Besar. Namun,karena dia
terlalu sering berkeluh kesah,hewan-hewan yang mengenalnya kemudian
menjulukinya si Pengeluh.
Kura-kura senantiasa mengeluhkan
kondisi dirinya pada apa yang dilihat atau ditemuinya. Dia merasa segala yang
ada pada dirinya hanyalah sia-sia belaka. Dia merasa tidak mempunyai kelebihan.
Oleh karenanya, kura-kura selalu iri melihat kelebihan yang dimiliki oleh
hewan-hewan lainnya.
Jika bertemu dengan ikan-ikan yang
menghuni sungai itu,pasti dia mengungkapkan keluhan.
“Kalian memang hewan-hewan yang
beruntung. Demikian banyak kelebihan yang kalian miliki. Kalian dapat berenang
dengan gesit. Berbeda dengan diriku yang sangat lambat ketikaa berenang.”
Tidak jarang kawanan ikan sering
menghiburnya.
“Tetapi kami tidak dapat hidup di
darat. Hidup kami hanya di air. Meskipun tidak selincah kami ketika berenang,kamu
mempunyai kelebihan yang tidak kami miliki. Kamu dapat hidup di darat. Sungguh
beruntung kamu dapat menjejakkan kaki di tanah !”
Meskipun begitu, kura-kura etap
menganggap dirinya tidak seberuntung kawanan ikan. Dan dia terus saja mengeluh.
Begitu juga ketika bertemu dengan
kepiting, kura-kura masihmengeluh.
“Kamu hewan yang beruntung.
Meskipun tubuhmu kecil,gerakanmu sangat gesit. Apalagi kamu mempunyai
capit-capit tajam. Siapapun akan berpikir dua kali jika mengganggumu. Berbeda
sekali dengan diriku yang tidak mempunyai senjata apapun.”
“Kamu mempunyai tempurung yang
keras laksana batu !” tukas kepiting menghibur. “Tubuhmu aman dibalik tempurung
itu. Seandainya sebuah batu menggelinding mengenai dirimu,tak akan dapat
melukai tubuhmu ! Bayangkan, jika batu itu mengenai diriku ! Apakah mungkin
capit-capit ini dapat melindungi tubuhku ?”
Meskipun demikian,kura-kura tetap
merasa dirinya tidak seberuntung kepiting. Kelebihan tempurung keras bukan
sesuatu yang istimewa baginya.
Apa yang diucapkan kura-kura ketika
berjumpa burung branjangan ? keluh kesahnya begitu mengemuka hingga dia seperti
hewan yang teramat malang di dunia !
“Sungguh beruntung hidupmu, burung
branjangan ! Terbangmu begitu cepat bagaikan angin. Kamu bebas pergi kemanapun
dalam waktu singkat. Sungguh malang nasibku. Berenang di air lambat, berjalan
di darat juga lambat ! tak mungkin pula aku dapat mengangkasa seperti dirimu !
Tak dapat diriku melihat negeri-negeri yang indah seperti diimu !”
Sesungguhnya,burung branjangan
telah berkali-kali mendengar keluhan kura-kura. Namun,berkali-kali pula dia
menghibur dan menasihatinya.
“Aku memang dapat terbang secepat
angin,namun aku tidak dapat berenang ! Lihatlah dirimu. Kelebihanmu berenang
kadang sempat membuatku iri ! Aku ingin sekali dapat berenang sepertimu.
Tetapi, karena Tuhan telah menciptakan diriku seperti ini,kuterima dengan rasa
syukur. Hendaknya,kamu juga bersyukur karena tak ada kesia-siaan sedikitpun
dalam penciptaan-Nya !”
Apapu yang dinasihatkan
kepadanya,kura-kura tetap saja merasa dirinya tidak seberuntung hewa-hewan
lain. Dia tetap merasa tidak mempunyai kelebihan. Itu membuat wajahnya selalu
terlihat murung. Dalam benaknya,tergambar perasaan iri ada ikan yang gesit
berenang. Kepiting yang mempunyai senjata andalan, atau pada burung branjangan
yang dapat terbang bebas laksana angin. Jika kura-kura telah mengeluh,hewan-hewan
yang didekatnya akan segera pergi. Mereka bosan mendengar keluh kesah
kura-kura.
Suatu ketika,terjadilah kemarau
panjang yang menyebabkan air sungai menjadi surut dan menyusut. Dasar sungai
menjadi terlihat. Kawanan ikan masih dapat hidup di cekungan sungai yang masih
menyisakan sedikit air. Namun, malang bagi keluarga ikan Sepat. Ketiga anak
mereka terjebak di cekungan lain di sungai itu hingga tak bisa lagi berkumpul
dengan mereka.
“Apa yang harus kita lakukan ?”
Induk Sepat terlihat cemas. Matanya berulang-ulang mengedar mencari,namun
ketiga anaknya tak juga berada didekatnya. “Dimana anak-anak kita ? tak mungkin
kita mencarinya karena air sungai semakin sedikit !”
“Kita berdo’a saja semoga Tuhan
segera menurunkan hujan sehingga air sungai kembali berlimpah. Dengan begitu,
kita dapat mencari ketiga anak kita.”
Kata-kata suaminya masih membuat
induk sepat cemas dan panik. Mendadak, dia teringat pada kura-kura. Barangkali kura-kura
dapat menolongnya. Maka dia berteriak keras-keras memanggil.
Kura-kura yang tengah berlindung di
balik pohon talas mendengar panggilan Induk Sepat. Dengan gerak perlahan.
Kura-kura mendatangi suara yang memanggilnya.
“Ada apa kamu memanggil,Induk Sepat
?”
“Kura-kura,maukah kamu menolongku
?” ujar Induk Sepat penuh pengharapan. “Ketiga anakku terpisah dariku. Entah di
mana mereka berada kini ! Tolonglah aku. Kura-kura yang baik. Tolong,temukan
mereka !”
Melihat kecemasan Induk Sepat,kura-kura
merasa iba. Dia menyanggupi mencari ketiga sepat itu. Dia segera bergerak secepat
yang dia mampu. Setiap cekungan dilihat dan diperiksanya. Akhirnya,ketiga anak
sepat itu ditemukannya di satu cekungan yang sebenarnya tak jauh dari induknya.
Ketiga anak sepat itu menangis ketakutan terpisah dari kedua orangtuanya.
“Apa akalku untuk membawa ketigga
anak sepat ini ?” kata Kura-kura kebingungan.
“mengapa kamu bingung, sahabatku ?”
mendadak burung branjangan bersuara.
“bukankah kamu dapat membawa
ketiganya di atas tempurungmu ?”
Kura-kura menuruti saran burung
branjangan. Ketiga anak sepat itu dimintanya untuk menaiki punggungnya. Ketika
ketiganya telah berpegangan pada tempurungnya,kura-kura lantas berlari
secepatnya menuju cekungan tempat induk sepat berada.
Betapa bahagianya induk sepat dapat
bertemu kembali dengan ketiga anaknya.
“Terima kasih kura-kura.” Ujar
induk sepat. “Nah,terbukti bukan ? kamu mempunyai kelebihan yang tidak kami
miliki ? kamu dapat berjalan di darat dan mampu menyelamatkan anak-anakku !”
Untuk pertama kali dalam hidupnya,
kura-kura merasa beruntung. Dia mempunyai kelebihanyang tidak dimiliki ikan.
Rasa syukurnya mendadak timbul.
Ketika kura-kura hendak kembali ke tempat
istirahatnya,tiba-tiba dilihatnya sebuah batu lumayan besar menggelinding darii
bibir sungai. Betapa terkejutnya kura-kura ketika batu mengetahui batu itu
mengarah pada kepiting yang berada didekatnya.
Kura-kura segera melompat.
Ditutupinya tubuh kepiting. Kepala,tangan,dan kakinya cepat-cepat dimasukan ke
tempurung. Jadi,ketika batu itu jatuh,tempurungnya saja yang kena.
Tempurungnya demikian keras. Karena
itu, kura-kura tidak merasakan sakit sedikitpun. Sementara kepiting yang
mengetahui jatuhnya batu amat terperanjat. Lalu, dia mengucapkan terima kasih
pada kura-kura.
Kura-kura semakin bersyukur. Dia
merasa beruntung mempunyai tempurung yang keras laksana batu. Dia juga merasa
tidak pada tempatnya jika iri pada kelebihan kepiting karena kelebihannya
sendiri pun demikian besar. Kura-kura merasa lega karena dapat menolong sahabatnya.
“Lihat kura-kura ! Ada manusia yang
hendak memanah burung branjangan !”
Kura-kura segera melihat ke arah
yang ditunjukan kepiting. Benar ! Di deka mereka,ada seorang anak yang tengah
bersiap-siap menarik busur panah. Anak panahnya diarahkan pada burung
branjangan yang tengah beristirahat di dahan pohn cemara.
“Apa yang dapat kita
lakukan,kepiting ?” tanya kura-kura kebingungan.
“Kita harus menyelamatkan burung
branjangan ! ayo,lekas ! kita capit kakinya.”
Kedua sahabat itu bergerak secepat
yang mereka bisa. Kepiting lebih dulu tiba,disusul kura-kura. Sementara,anak
lelaki itu tida menyadari keberadaan mereka. Matanya tetap terarah pada burung
branjangan yang juga tidak menyadari bahaya yang mengancam jiwanya.
Hampir bersamaan,kedua sahabat itu
menggigit kaki anak itu. Anak itu menjerit kesakitan. Lalu pergi dan menjauh
dari tempat itu.
Burung branjangan terkejut
mendengar jerit kesakitan si anak. Dia baru menyadari bahwa dirinya selamat
dari maut ! Lalu, dia berterima kasih pada kepiting dan kura-kura.
Kura-kura tersenyum. Dia sangat
bahagia. Kini, dia merasa sangat beruntung ditakdirkan sebagai kura-kura ? yang
ternyata mempunyai banyak kelebihan yang tidak disadarinya selama ini. Dia
sangat bersyukur kepada-Nya dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi
berkeluh-kesah. Dia tak mau agi disebut si Pengeeluh ! dia telah menyadari
kekeliruannya. Dengan penuh rasa syukur,dia melangkah menuju pohon talas untuk
kembali beristirahat.
SANG JAGOAN
Belang adalah kucing kampung jantan
yang masih muda. Badannya gagah dan kekar. Cakar-cakarnya tajam dan kuat. Gerakannya
tangkas. Dia dapat memanjat pohon dengan gesit dan cepat. Dia sangat bangga
kepada dirinya dan merasa paling hebat sehingga membuat teman-temannya menjadi
sebal kepadanya.
“Bah, diakan kucing kampung juga
seperti kita.” Kata Putih. Dia sibuk menjilati bulu-bulu putihnya hingga
bersih.
“Tidak ada yang tertarik
memeliharanya. Dia bringas.” Kata Hitam. Bulu-bulunya yang hitam berkilau
tertimpa sinar matahari.
“Hoaammm…..” karpet Iran menguap.
“Pekerjaanya hanya mencuri dan
membanggakan diri. Kalau saol warna bulu, perpaduan hitam, putih dan kuning
seperti punyaku ini lebih menarik kan ? daripada campuran belang cokelat.”
“Ah, sudahlah.” Kata Hitam.
Tak lama kemudian, belang
menghampiri mereka.
“Hai teman-teman. Apakah alian
melihat kucing kuning kurus melintas ? telinganya luka. Aku berkelahi dengannya
semalam.”
“Untuk apa ?” tanya Karpet Iran.
“untuk membuktikan bahwa aku memang
jagoan.” Kata Belang menyeringai.
“Hanya seekor kucing kurus ?” Kata Putih.
“Dia bukan tandinganmu.”
Belang membelalakkan mata.
“Oh ya ? kalau begitu, aku
menantang salah satu diantara kalian.”
Putih, Hitam, dan Karpet Iran
berpandangan.
“Ayo, siapa saja diantara kalian !
Tidak ada yang kurus, kan ?” Tantang Belang sekali lagi.
“Masalahnya……..” kata Hitam
mengerling kepada Putih dan Karpet Iran.
“Kami cinta perdamaian.” Kata
Karpet Iran tercetus begitu saja.
“Bukan karena kami takut kepadamu.”
Tambah Putih.
Belang memandang ketiganya.
“Oh begitu, Kucing pemberani memang
seharusnya tak takut kepada siapapun, seperti aku.”
“Tidak takut kucing wilayah lain ?”
tanya Hitam.
Belang menggeleng.
“Pada pemilik rumah yang akan
memukulmu dengan tongkat karena kamu akan mencuri lauknya?” Tanya Putih.
Belang menggeleng kuat.
“Aku tidak hanya berani, tapi juga
lihai. Tongkat atau apapun bukan masalah.”
“Tidak takut kepada anjing ?” tanya
Karpet Iran.
Belang menoleh cepat kepada Karpet
Iran.
“Aku tidak bisa mengubah sejarah
nenek moyang kita, teman. Kucing tetap takut kepada anjing, kecuali hidup
bersama sejak bayi. Mengerti ?”
Ketiganya terdiam. Mereka berharap
Belang lekas pergi.
Belang mengelus-elus perutnya.
“Kucing pemberani akan mencari
makan. Ada yang mau sisa-sisaku ? duri ikan, mungkin ?” tanya Belang.
Ketiganya menggeleng.
“Selamat makan !” kata Hitam.
Belang meninggalkan mereka sambil
berdendang.
“Dasar sombong.” Kata Karpet Iran.
“Ayo kita lihat apa yang dia perbuat.”
Putih dan Hitam mengikuti. Mereka
melihat Belang memasuki rumah melalui jendela. Mereka bersembunyi di balik pot
besar.
“Eeeeehhhhh, kucing nakal ! Hus….hus
!” teriak seorang ibu.
“Meeoong…” Terdengar suara Belang.
Brraaakkk!!
Belang menabrak jendela, lalu
meloncat ke luar. Dia berlari kencang, lalu berhenti di dekat selokan. Dia
menikmati ikan ceruriannya. Putih, Hitam, dan Karpet Iran terus mengikuti
sambil bersembunyi.
“Heran, dia dapat juga makanan.”
Kata Putih.
“Dia memang berani dan lihai.” Kata
Hitam.
Belang menghampiri sebuah nampan
lebar berisi udang kering yang sedang dijemur. Dia bersembunyi di bawah kursi
yang digunakan untuk menopang kasur yang juga sedang dijemur di sebelah nampan.
Dia mengendap-endap sambil berfikir bagaimana cara mengambil udang kering itu.
Belang tak menyadari ada seorang
ibu yang mendekat untuk membersihkan debu di kasur. Dia membawa sapu lidi yang
digunakan khusus untuk kasur.
Hup!
Belang meloncat.
Gubrakk!
Kursi nampan itu terjatuh.
“Heehhh! Dasar pencuri !” teriak
ibu itu. Dia memukul Belang dengan sapu lidinya. “Huh, bandel !” kata ibu itu
sambil terus mengibaskan sapu lidinya, meskipun Belang sudah lari
tunggang-langgang menjauhinya.
“Hah ? Dia takut pada sapu lidi !”
Karpet Iran terperanjat.
“Hahahaha ! Kucing jagoan takut
pada sapu lidi.” Tawa Putih terpingkal-pingkal.
“Ternyata dia sama dengan kita. Dia
tidak lebih berani darpiada kita.” Kata Hitam.
Mereka bertiga menghampiri Belang
yang duduk sambil terengah-engah.
“Kamu perlu udara sangat banyak,
sampai ngos-ngosan begitu.
Fiuh…fiuh.” Kata Putih meniup-niup Belang.
“Sapu lidi itu begitu menyeramka ya
?” kata Karpet Iran.
“Bentuknya yang
berbilah-bilah,ujungnya yang runcing menusuk sedikit menggelikan, dan bunyinya
….. Pyak! Pyak! Sngat mengerikan. Hiiihhh….!” Kata Hitam “Kami takut
kepadanya.”
Belang sedikit lebih tenang.
Nafasnya mulai teratur.
“Aku..aku takut pada sapu lidi. Yang
kamu katakan tentangnya, semuanya benar. Mendengarnya dikibas-kibaskan saja,
aku sudah bergidik. Aduuhh, aku malu sekali kepada kalian.” Belang mengaku.
“Apakah kalian masih mau mengobrol denganku ?”
“Tentu saja, asal kamu berhenti
berlagak sok jagoan.” Jawab Karpet Iran.
“Jangan sombong lagi.” Kata Putih.
“Tingkah dan perkataanmu selama ini sangat menyebalkan.”
Belang mengangguk patuh.
“Baiklah. Aku tidak akan sombong
dan sok jagoan lagi. Maafkan aku.” Kata Belang lirih.
Sejenak mereka terdiam.
“Kami memaafkanmu. Benarkan
teman-teman ?” Tanya Hitam.
Putih dan Karpet Iran mengangguk.
“Nah, kalau begini lebih
menyenangkan. Sekarang, ayo kita cari makanan di tempat sampah rumah bercat
kuning itu. Pemiliknya menjual daging ayam olahan. Dia banyak membuang tulang
ayam. Kadang-kadang, masih menempel.” Ajak Hitam.
“Tidak perlu mencuri ?” tanya
Belang.
Putih, Hitam dan Karpet Iran
menggeleng bersamaan. Mereka lalu berjalan beriringan menuju rumah tersebut.
Tentunya dengan selera makan yang telah sampai di ujung lidah.

0 Comments